Oleh : Helmi Syahputra
Penulis Adalah Pengamat Politik dan Dosen Fisip UISU
Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Karena itu pilkada harus diselenggarakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas–luasnya, dan dilaksanakan dalam suasana kondisi yang diwarnai dengan situasi dan kondisi yang tertib, tentram dan aman. Adalah keniscayaan bahwa pemilihan kepala daearah secara langsung oleh rakyat tidak serta-merta (taken for granted) menjadikan kualitas demokrasi di daerah meningkat.
Harapan untuk meningkatkan kualitas demokrasi akan bisa mengaburkan pemahaman tentang strategi demokratisasi dalam pilkada, jika tidak memiliki aspek-aspek penting pilkada. Untuk penyelenggaraan pilkada tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat dana hibah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari masing-masing pemerintah daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Permendagri Nomor 44 Tahun 2015 yang diubah dengan Permendagri Nomor 51 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Dana Kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, pendanaan pilkada dibebankan pada APBD, berupa dana hibah langsung kepada KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu.
Fakta di berbagai negara demokrasi baru menunjukkan bahwa alokasi belanja lembaga penyelenggara pemilu terutama yang menganut model lembaga di bawah pemerintah/kementerian tidak bisa terlepas dari kepentingan politik (Zetra,2016:18). Bahkan lembaga penyelenggara pemilu dengan model independen yang pembiayaannya berasal dari APBN/APBD sering juga mengalami intervensi politik dalam proses penganggarannya. Hal ini juga terjadi di Indonesia dalam pelaksanaan pilkada yang pendanaannya berasal dari hibah APBD. Padahal Menteri Dalam Negeri (Mendagri) periode 2009-2014 Gamawan
Fauzi pernah mengusulkan agar pilkada dibiayai dengan APBN. Tujuannya untuk
menghindarkan politisasi APBD oleh petahana demi kepentingan pilkada.
APBD dijadikan alat tawar oleh kepala daerah yang maju lagi di pilkada. Ide pilkada dibiayai APBN itu juga didasari pertimbangan agar kepala daerah tidak menjadikan APBD sebagai alat untuk menekan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Sehingga penyelenggaraan pilkada tertunda bukan karena anggaran daerah tidak tersedia. Bahkan bukan hanya kepala daerah saja yang melakukan politisasi APBD untuk pilkada. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sering menggunakan APBD untuk alat tawar menawar politik. Apalagi kalau ada kepentingan kepala daerah atau kekuatan-kekuatan politik di DPRD yang ikut berkompetisi dalam pilkada.
Wacana anggaran pilkada dibiayai oleh APBN sampai pelaksanaan pilkada serentak Tahun 2015 masih belum terwujud, sehingga KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus terlibat dalam konflik kepentingan dalam penetapan anggaran hibah pilkada dengan Pemerintah Daerah dan pihak terkait, yang disebabkan oleh adanya faktor kepentingan pihak tertentu dalam penetapan anggaran hibah pilkada sehingga sering terjadi tarik ulur antara Pemerintah Daerah dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Aturan-aturan teknis tentang pilkada 2015 yang terlambat ditetapkan juga menjadi penyebab keterlambatan penetapan anggaran pilkada, yang dimulai dengan adanya wacana pilkada tidak langsung yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang mengubah tata cara pemilihan kepala daerah langsung menjadi tidak langsung untuk alasan efisiensi anggaran dan mengurangi konflik. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2014 yang menolak ide sistem pilkada tidak langsung.
Ide tersebut dikukuhkan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang baru ditetapkan pada Bulan Maret 2015.
Proses tersebut menyebabkan tidak sinkronnya tahapan penyusunan APBD dengan tahapan pilkada serentak sehingga yang terjadi di banyak daerah yang melaksanakan pilkada tahun 2015 Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) belum juga disahkan sementara tahapan pilkada sudah dimulai. Ada banyak aktor yang berperan dalam politik anggaran antara lain pejabat
yang dipilih, badan anggaran parlemen, partai politik, tim anggaran birokrasi dan lembaga penyelenggara pemilu serta agensi-agensi lain yang terkait dengan kegiatan pemilu seperti Lembaga Pengawas Pemilu, Kepolisian dan sebagainya.
Perumusan anggaran pemilu dalam konteks politik anggaran sering mengalami dilema di tengah tarik menarik kepentingan anggaran dari berbagai sektor terutama sektor prioritas. Seperti di negara-negara yang mengalami keterbatasan anggaran dan masih menghadapi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Diharapkan tulisan ini menjadi sumbangan pengembangan ilmu yang baru tentang bagaimana aspek politik mempengaruhi proses penetapan anggaran hibah pilkada dan siapa saja aktor yang terlibat serta bagaimana mereka mempengaruhi proses penetapan anggaran tersebut. Selama ini
penelitan tentang politik anggaran hanya membahas dari segi tarik ulur kepentingan antara pihak eksekutif dengan legislatif dalam penetapan APBD, sedangkan penelitian ini lebih fokus membahas tarik ulur kepentingan pihak eksekutif dengan KPU Provinsi sebagai penyelenggara pilkada dalam penetapan anggaran hibah pilkada.
Dan juga ebagai masukan bagi pemerintah untuk memilih mekanisme mana yang baik digunakan dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pilkada apakah menggunakan APBN atau masih seperti pemilihan sebelumnya tetap menggunakan APBD.